Di akhirat kelak, setiap manusia akan menuai apa yang ia tanam di dunia. Begitu juga seorang istri. Ia akan menerima balasan sesuai dengan amalannya di dunia. Sebagus apapun suaminya, itu tidak akan memperingannya dari adzab Allah.
Setiap muslimah tentu mendambakan dirinya dapat menjadi istri yang baik, istri yang shalihah, yang dipuji sebagai sebaik-baik perhiasan dunia oleh Ar-Rasul r:
“Dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.”1
Sehingga, seorang muslimah dituntut untuk senantiasa bersungguh-sungguh menjaga dirinya agar tidak terpuruk dalam kejelekan dan keburukan yang berakibat kehinaan bagi dirinya. Karenanya, ia semestinya berusaha mengambil ibrah (pelajaran) dari peristiwa atau kisah yang ada, baik yang telah lampau maupun yang belakangan. I‘tibar (mengambil pelajaran) seperti ini merupakan tuntunan dari Rabbul ‘Izzah, Allah I, sebagaimana firman-Nya:
“Maka ambillah (kejadian itu) sebagai pelajaran bagi kalian, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (Al-Hasyr: 2)
Di dalam Al-Qur`an yang mulia, Allah I banyak membuat permisalan/ perumpamaan untuk hamba-hamba-Nya, agar mereka mau merenungkan dan memikirkannya.
“Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir.” (Al-Hasyr: 21)
Di antaranya, gambaran istri yang buruk disebutkan dalam ayat berikut ini:
“Allah membuat istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah ikatan pernikahan dengan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami. Lalu kedua istri itu berkhianat2 kepada kedua suami mereka, maka kedua suami mereka itu tidak dapat membantu mereka sedikitpun dari siksa Allah, dan dikatakan kepada keduanya: ‘Masuklah kalian berdua ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk neraka’.” (At-Tahrim: 10)
Istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth Termasuk Orang-orang Kafir
Nabi Nuh u dan Nabi Luth u merupakan dua insan yang Allah I pilih untuk menerima risalah dan menyampaikannya kepada kaum mereka. Kedua rasul yang mulia ini pun mengemban risalah dengan sebaik-baiknya, mengajak kaum mereka yang durhaka agar kembali kepada Allah I dengan mentauhidkan-Nya dan meninggalkan periba-datan kepada selain-Nya.
Namun dengan ke-mahaadilan-Nya, Allah I menakdirkan istri kedua nabi yang mulia ini justru tidak menerima dakwah suami mereka. Padahal keduanya adalah teman kala siang dan malam, yang mendampingi ketika makan dan tidur, selalu menyertai dan menemani. Kedua istri ini mengkhianati suami mereka dalam perkara agama, karena keduanya beragama dengan selain agama yang diserukan oleh suami mereka. Keduanya enggan menerima ajakan kepada keimanan bahkan tidak membenarkan risalah yang dibawa suami mereka.3
Disebutkan oleh Ibnu Abbas c bahwa istri Nabi Nuh berkata kepada orang-orang: “Nuh itu gila”. Bila ada seseorang yang beriman kepada Nabi Nuh u, ia pun mengabarkannya kepada kaumnya yang dzalim lagi melampaui batas4. Sementara istri Nabi Luth u mengabarkan kedatangan tamu Nabi Luth u kepada kaumnya5, padahal Nabi Luth u merahasiakan kedatangan tamunya karena khawatir diganggu oleh kaumnya6.
Inilah pengkhianatan mereka kepada suami mereka. Hubungan mereka berdua dengan suami yang shalih dan kedekatan mereka tidak bermanfaat sama sekali disebabkan kekufuran mereka7. Sehingga kelak di hari akhirat dikatakan kepada kedua istri tersebut: “Masuklah kalian berdua ke dalam neraka.”
Kedekatan Suami-Istri tanpa Disertai Keimanan Tidaklah Ber-manfaat di Sisi Allah I Kelak
Asy-Syaikh ‘Athiyyah Salim menyatakan: “Dalam firman Allah I:
“Maka kedua suami mereka itu tidak dapat membantu mereka sedikitpun dari siksa Allah.”
(Dalam ayat ini) ada penjelasan bahwa pertalian suami istri tidak bermanfaat sama sekali dengan adanya kekufuran dari salah satu pihak. Allah I telah menerangkan apa yang lebih penting daripada hal itu pada seluruh hubungan kekerabatan, seperti firman-Nya:
“Pada hari di mana tidak bermanfaat harta dan anak-anak.”
Dan firman-Nya:
“Pada hari di mana seseorang lari dari saudaranya, dari ibunya dan bapaknya, dari istrinya dan anak-anaknya.”
Allah I menjadikan dua wanita ini sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir, dan ini mencakup seluruh kerabat sebagaimana yang telah kami sebutkan.
Aku pernah mendengar Asy-Syaikh (yakni Asy-Syinqithi) –semoga Allah I merahmati kami dan beliau– dalam muhadharah (ceramah)nya pernah membahas permasa-lahan ini. Beliau pun menyebutkan kisah dua wanita tersebut, demikian pula kisah Nabi Ibrahim u bersama ayahnya, juga Nabi Nuh u bersama anaknya. Maka sempurnalah seluruh sisi kekerabatan: ada istri bersama suaminya, anak bersama bapaknya, dan bapak bersama anaknya. Beliau juga menyebutkan hadits Rasulullah n:
“Wahai Fathimah (bintu Rasulullah), beramallah engkau karena aku tidak bisa mencukupimu (menolongmu) dari Allah sedikitpun.”
Kemudian beliau berkata: “Hendaklah seorang muslim mengetahui bahwa tidak ada seorang pun yang bisa memberikan keman-faatan kepada orang lain pada hari kiamat kelak, walaupun kerabat yang paling dekat, kecuali dengan perantara keimanan pada Allah dan dengan syafaat yang diizinkan-Nya kepada hamba yang dimuliakan-Nya, sebagaimana dalam firman Allah I:
“Dan orang-orang yang beriman dan diikuti oleh anak-anak turunan mereka dalam keimanan, maka akan Kami gabungkan mereka itu dengan anak-anak turunan mereka.” (Tatimmah Adhwa`il Bayan, 8/382)
Al-Imam Ibnul Qayyim t berkata: “Ayat-ayat ini mengandung tiga permisalan, satu untuk orang-orang kafir dan dua permisalan lagi untuk kaum mukminin8. Kandungan permisalan untuk orang-orang kafir yaitu bahwa orang kafir akan disiksa karena kekufuran dan permu-suhannya terhadap Allah I, rasul-Nya, dan para wali-Nya. Dengan kekufurannya tersebut, hubungan nasab tidak bermanfaat baginya, juga periparan (kekerabatan karena pernikahan) atau hubungan lainnya di antara sekian hubungan dengan kaum mukminin. Karena seluruh hubungan itu akan terputus pada hari kiamat, kecuali pertalian yang bersambung dengan Allah I saja lewat bimbingan tangan para rasul. Seandainya hubungan kekerabatan, periparan atau pernikahan itu bemanfaat walau tanpa disertai keimanan, niscaya hubungan Nuh dengan istrinya dan Luth dengan istrinya akan bermanfaat.
Namun ternyata keduanya tidak dapat menolong istri mereka dari adzab Allah I sedikit pun. Bahkan dikatakan kepada istri-istri mereka: “Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk”. Ayat ini memutus keinginan dan harapan orang yang berbuat maksiat kepada Allah I dan menyelisihi perintah-Nya untuk mendapat kemanfaatan dari kebaikan orang lain, baik dari kalangan kerabatnya atau orang asing, sekalipun ketika di dunia hubungan antara keduanya sangatlah erat. Tidak ada hubungan yang paling dekat daripada hubungan ayah, anak dan suami istri. Namun lihatlah Nabi Nuh u tidak dapat menolong anaknya, Nabi Ibrahim u tidak dapat menolong ayahnya, Nabi Nuh dan Luth e tidak dapat menolong istrinya dari adzab Allah I sedikit pun. Allah I berfirman:
“Karib kerabat dan anak-anak kalian sekali-kali tidak akan bermanfaat bagi kalian pada hari kiamat. Dia akan memisahkan antara kalian.” (Al-Mumtahanah: 3)
“(Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain.”(Al-Infithar: 19)
“Dan jagalah diri kalian dari adzab hari kiamat, yang pada hari itu seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun.” (Al-Baqarah: 123)
“Takutlah kalian dengan suatu hari yang pada hari itu seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun.” (Luqman: 33) [I‘lamul Muwaqqi‘in 1/188, sebagaimana dinukil oleh Al-Imam Al-Qasimi dalam tafsirnya Mahasin At-Ta`wil, 9/183-184]
Pelajaran yang Bisa Dipetik
Sumber : Majalah asysyariah.com
Related posts: